Usaha Ulama Nusantara Dalam Membantah Ajaran Sufi
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang terjemahannya, “Dan katakanlah, ‘Kebenaran telah datang dan yang bathil telah lenyap.’ Sungguh, yang bathil itu pasti akan lenyap.” (QS Al-Isra’: 81)
Di awal-awal Islam mengibarkan panjinya di Nusantara, ajaran sufi
sangatlah nampak dan jelas eksistensinya. Terlebih pada abad ke-6 dan
ke-7. Hal ini sebagaimana pernyataan Prof. Dr. Ahmad Mansur Suryanegara
dalam bukunya, Menemukan Sejarah (hal. 160), “Tarekat mulai berkembang dan mempunyai pengaruh besar pada abad ke-6 dan ke-7 di Indonesia.”
Di antara tokoh-tokohnya pun sampai dapat menempati kedudukan tinggi
di kerajaan, yaitu sebagai penasehat sultan atau raja, atau minimal
sebagai panutan masyarakat. Sebut saja misalnya Hamzah Al-Fanshuri,
Syamsuddin As-Sumatrani (w. 1039), Muhammad Yusuf Tajul Khalwati
Al-Makassari (1037-1111), Abdush Shamad bin Abdurrahman Al-Falimbani
(1116-1203), Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari (1148-… ), dan lainnya.
Bahkan di antaranya pula ada yang meracik tarekat baru, seperti Ahmad
bin ‘Abdul Ghaffar As-Sambasi (1217-1289) pendiri tarekat
Naqsyabandiyyah wa Qadiriyyah yang kemudian diageni oleh ‘Abdul Karim
Al-Bantani.
Sesungguhnya kebenaran dan kebathilan akan terus berselisih hingga datangnya ketetapan Allah ‘Azza wa Jalla.
Dan antara kedua-duanya memiliki pembela masing-masing. Akan tetapi
akibat yang baik akan dimiliki yang haq dan pembelanya. Sekiranya
kebathilan itu nampak di suatu zaman maka harus dilenyapkan dan
dibantah. Dan demikianlah seterusnya hingga pada akhirnya yang haqlah
yang akan unggul dan menang.
0 komentar:
Posting Komentar